
Nyaris tak ada yang salah dalam aturan Bank Indonesia tentang batas
pemberian kredit alias loan to value (LTV) . Lihat saja, pada 15 Maret
2012, BI merilis Surat Edaran No. 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen
Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian KPR dan Kredit Kendaraan
Bermotor. Dalam surat tersebut, regulator membatasi besaran LTV maksimal
70% pada saat awal pemberian kredit. Artinya, nasabah harus menyiapkan
uang muka atau down payment (DP) minimal 30% dari harga rumah sebelum
berutang ke bank.
Aturan ini berlaku bagi penyaluran KPR dengan
tipe hunian seluas di atas 70 meter persegi (m²). Adapun ruang lingkup
KPR ini meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk
rumah susun atau apartemen, tapi tidak termasuk rumah kantor dan rumah
toko.
Secara resmi aturan ini berlaku pada 15 Juni 2012. Dalam
sekejap, aturan ini mampu mempengaruhi penyaluran kredit konsumsi,
khususnya KPR. Statistik Perbankan Indonesia dari terbitan Bank
Indonesia (BI) menyatakan puncak penyaluran KPR tahun 2012 mencapai
tercapai puncak pada bulan Juni, senilai Rp 213,5 triliun. Angka
penyaluran KPR bulanan berikutnya terus mengalami penurunan dengan titik
terendah di bulan September.
Lalu, angka penyaluran KPR mulai
naik dan pada Januari 2013 sudah hampir menyamai besaran KPR bulan Juni
2012. Setelah itu, penyaluran KPR terus membesar. Pada Mei 2013,
tercatat penyaluran KPR mencapai Rp 229,3 triliun.
Dari sini
regulator perbankan mulai merasa kebijakan uang muka 30% dari nilai KPR
tak lagi efektif memperlambat laju penyaluran kredit properti.
“Penyempurnaan kredit properti akan segera diputuskan di Rapat Dewan
Gubernur,” ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, awal Juli lalu.
Pelambatan
kredit pada paruh kedua 2012 tak mengoreksi harga, tapi justru harga
rumah terus naik. Lantaran harga rumah terus merambat naik, konsumen
kalap membeli rumah. Ada yang memang karena kebutuhan. Namun tak sedikit
yang berinvestasi, walau dengan aroma spekulasi yang kental.
Apalagi
saat BI mencermati data penyaluran KPR perbankan. Pada bulan Mei, ada
35.200 debitur yang memiliki KPR lebih dari satu rumah. Yang agak
mencengangkan, BI menemukan 3.884 debitur yang memiliki KPR 3-9 rumah
sekaligus.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A.
Johansyah menilai kenaikan harga properti ini karena ada ulah spekulan
di dalamnya. Berbekal uang muka, mereka membeli rumah secara kredit dan
menjual kembali rumah setelah harga naik tinggi. “Kami harus
mengeluarkan kebijakan agar bank tidak terkena dampak dari ulah
spekulan,” kata Difi .
Inilah yang mendasari BI berencana
menyempurnakan aturan kredit properti. Kembali, BI fokus mengendalikan
pembelian rumah tipe di atas 70 m². Maklum, April lalu, KPR untuk tipe
rumah ini tumbuh 45%.
Ada beberapa skema kebijakan yang disiapkan
BI. Di antaranya adalah pengenaan pajak lebih tinggi pada rumah mewah,
pemberlakuan jangka waktu kepemilikan sebelum rumah dijual kembali,
pengetatan LTV, hingga pengenaan LTV berbeda tiap daerah. Semua skim ini
memiliki keuntungan dan kesulitan masing-masing.
Sepertinya, BI
memilih kebijakan pengetatan atau penurunan besaran LTV untuk KPR rumah
kedua dan seterusnya. Aturan ini menyempurkan beleid sebelumnya yang
membatasi LTV 70% dari kredit.
Untuk debitur yang akan membeli
rumah kedua secara kredit, harus menyiapkan uang muka 40% dan 50% untuk
rumah ketiga. Rencananya, BI akan memberlakukan aturan ini pada
September nanti.
Alasan lain BI merilis aturan ini, ungkap Difi ,
agar bank mau menyalurkan kredit untuk tipe rumah kecil bagi masyarakat
bawah. Saat kredit untuk rumah tipe 70 m² melambung, pertumbuhan kredit
rumah tipe kecil justru menyusut. “Penyaluran kredit rumah kecil tak
banyak tapi harga rumah di segmen ini ikut terseret naik,” kata Difi.
Efek sesaat
Direktur
Keuangan PT Bank Danamon Tbk Vera Eve Lim menilai besaran 70% LTV untuk
KPR memang belum maksimal mengerem laju permintaan KPR. Apalagi, banyak
bank menawarkan bunga murah. Ini membuat konsumen dan bank tidak ambil
pusing dengan aturan tersebut. Vera menganggap sudah sewajarnya bila
regulator merevisi aturan LTV tersebut sesuai kondisi terkini. Upaya ini
agar KPR tidak tumbuh dengan berlebihan. “Kami menginginkan kredit di
semua sektor tumbuh sustainable,” kata Vera.
Direktur Konsumer PT
Bank Central Asia Tbk (BCA) Henry Koenaifi sependapat dengan Vera.
Meski begitu, dia yakin aturan penurunan LTV untuk KPR kedua dan
seterusnya ini tidak terlalu berdampak bagi industri perbankan.
Saat
ini para bankir masih menunggu keputusan resmi aturan LTV dari BI. Dia
memprediksi akan terjadi perlambatan permintaan KPR, walau kecil. Dia
mencontohkan, saat ini, nasabah BCA yang memiliki lebih dari satu KPR
hanya 10% dari total nasabah KPR BCA. “Jumlahnya kecil tapi pasti ada
dampaknya, meski juga kecil,” kata Henry.
Jumlah nasabah yang
memiliki KPR lebih dari satu juga tak banyak di PT Bank Tabungan Negara
Tbk (BTN). Direktur BTN Mansyur Syamsuri Nasution bilang, nasabahnya
yang memiliki KPR lebih dari satu tidak lebih dari 1%. “Ketentuan itu
bila diberlakukan tidak akan berpengaruh pada bisnis KPR di BTN,” kata
Mansyur.
Terlebih, menurut Direktur Keuangan BTN Saut Pardede,
mayoritas KPR BTN itu untuk tipe rumah di bawah 70 m² dan untuk
kepemilikan rumah pertama. Saut mengaku juga memiliki produk KPR untuk
rumah kedua dan seterusnya. Nasabah seperti itu yang akan terpengaruh
kebijakan baru BI. “Secara keseluruhan, dampaknya tidak besar karena
kami fokus di rumah subsidi dan perumahan menengah,” kata Saut.
Direktur
Utama PT Bank Jabar Banten Tbk (BJB) Bien Subiantoro memberi acungan
jempol atas rencana BI memperketat batas LTV. Kredit perbankan memang
tidak seharusnya digunakan untuk spekulasi. “Saya justru terkejut dengan
penemuan BI tersebut, ada nasabah yang memiliki 9 KPR sekaligus,” ujar
Bien.
Vice President Consumer Finance PT Bank Mandiri Tbk Tardi
mengatakan pengaruh ketentuan LTV ini ke bisnis KPR hanya sesaat. Ini
terlihat pada aturan pertama yang berlaku tahun lalu. “Ada efek sebentar
tapi kembali normal karena permintaan rumah memang masih tinggi,” kata
Tardi.
Saat ini, nasabah KPR Bank Mandiri ada 300.000 nasabah. Dari
jumlah tersebut yang memiliki KPR dari satu ada 6.000 nasabah. Tardi
memastikan nasabah yang memiliki lebih dari satu KPR memiliki rekam
jejak yang terbaik.
Siap mengantisipasi
Manajer
Umum Komunikasi PT Metropolitan Land Tbk Wahyu Sulistio mengaku tak
terlalu panik dengan rencana BI kembali mengatur besaran LTV. Dia
mengaku, portofolio perumahan Metropolitan saat ini bertipe di bawah 70
m². “Kami belum berencana merevisi target perusahaan,” kata Wahyu.
Lebih
jauh, dia menilai aturan pembatasan berbasis luas bangunan ini kurang
efektif. Luas bangunan bisa sama, tapi harganya berbeda karena berada di
lokasi yang berbeda pula.
Dampak minimal atas aturan LTV dari BI
juga dirasakan Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi. Aturan LTV
yang mengharuskan setoran uang muka 30% dari nasabah nyaris tak
berdampak bagi Ciputra. Padahal, hampir semua rumah tapak Ciputra
berukuran di atas 70 m². Perbandingan pembeli rumah Ciputra Group dengan
KPR dan tunai itu 55:45.
Meski begitu, Harun sudah menyiapkan
langkah antisipasi bila ternyata aturan ini nanti berdampak besar di
lapangan. Dia mencontohkan strategi cicilan uang muka bagi konsumen dan
memperpanjang tenor pembayaran untuk pembelian tunai bertahap bisa
diberlakukan. “Kami tetap optimistis bisa meraih target penjualan Rp 10
triliun pada tahun ini,” kata Harun.
Direktur Century 21 Pertiwi
Ali Hanafia menilai kebijakan BI ini bisa ditafsirkan bentuk
ketidakpercayadirian pemerintah terhadap pertumbuhan bisnis properti di
dalam negeri. “Tahun ini, harga properti hanya akan tumbuh 20%-30%
saja,” kata Ali.
Sumber:
Koran Kontan