PERJANJIAN PENGANGKUTAN
Pengertian perjanjian
pengangkutan
Perjanjian
pengangkutan adalah suatu perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk
dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke lain tempat,
sedangkan pihak yang lain menyanggupi akan membayar ongkosnya (Subekti
1985:221).
Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata).
Perjanjian
pengangkutan merupakan timbal balik dimana pihak pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari dan ke tempat tujuan tertentu,
dan pengiriman barang membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui
bersama.
Perjanjian
pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha dan penumpang sebagai
hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian sepihak dan perjanjian
timbal balik dikenal sebagai pembeda/pembagian perjanjian karena menimbulkan
hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian pengangkutan disebut perjanjian
timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak layanan pengangkutan dengan kewajiban
membayar biaya pengangkutan, penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima
pembayaran jasa pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan
angkutan.
Perjanjian
pengangkutan perlu mendapatkan pengaturan yang memadai dalam Undang undang
Hukum Perikatan yang mana diketahui dalam B.W. kita tidak terdapat
pengaturannya tentang perjanjian ini yang dapat dianggap sebagai peraturan
induknya (Subekti 1984:47).
Pengangkutan
pada hakekatnya sudah diliputi oleh Pasal dari hukum perjanjian dalam B.W. akan
tetapi oleh Undang Undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang
bermaksud untuk kepentingan umum, membatasi kemerdekaan dalam hal membuat
perjanjian pengangkutan yaitu meletakkan berbagai kewajiban pada pihak si pengangkut
(Subekti 1985:222).
Perjanjian
pengangkutan baik dalam bagian ke-2 dan ke-3 Titel V buku I maupun di dalam
titel V, VA dan VB buku II Kitab Undang Undang Hukum Dagang tersebut tidak dijumpai
definisi atau pengertian mengenai perjanjian pengangkutan pada umumnya (Utari
1994:7).
Kitab
Undang Undang Hukum Dagang dalam title V buku II terdapat batasan pengertian
mengenai perjanjian penggunaan penyediaan kapal menurut waktu (carter waktu)
dan perjanjian penggunaan penyediaan kapal menurut perjalanan (carter
perjalanan), yang termuat di dalam Pasal 453 ayat (1) dan ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang. Perjanjian ini merupakan perjanjian pengangkutan
yang bersifat khusus. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 466 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang tentang pengangkutan barang dan Pasal 521 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang tentang pengangkutan orang (Utari 1994:7-8).
Perjanjian
pengangkutan tidak di syaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada
persesuaian kehendak (konsensus) sehingga dapat di artikan bahwa untuk adanya
suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus)
diantara para pihak. Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat
terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan (vracht brief) seperti
dimaksud dalam pasal 90 Kitab Undang Undang Hukum Dagang.
Pengangkutan
melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni tanda penerimaan barang yang
harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang. Dokumen tersebut bukan
merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan karena tidak
adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah
ada (Pasal 454,504 dan 90 Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Jadi
dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur-unsur dari perjanjian
pengangkutan
Asas perjanjian
pengangkutan
Ada
empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan:
1. Asas Konsensual
Asas
ini tidak mensyaratkan bentuk perjanjian angkutan secara tertulis, sudah cukup
apabila ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Dalam kenyataannya, hampir
semua perjanjian pengangkutan darat, laut, dan udara dibuat secara tidak
tertulis, tetapi selalu didukung dokumen pengangkutan. Dokumen pengangkutan
bukan perjanjian tertulis melainkan sebagai bukti bahwa persetujuan diantara
pihakpihak itu ada.
Perjanjian
pengangkutan tidak dibuat tertulis karena kewajiban dan hak pihak-pihak telah
ditentukan dalam Undang Undang. Mereka hanya menunjuk atau menerapkan ketentuan
Undang-Undang.
2. Asas Koordinasi
Asas
ini mensyaratkan kedudukan yang sejajar antara pihak-pihak dalam perjanjian
pengangkutan walaupun perjanjian pengangkutan
pada
perjanjian perburuan tidak berlaku pada perjanjian pengangkutan.
3. Asas Campuran
Perjanjian
pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada
pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim
kepada pengangkut dan jiika dalam perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka
diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu dapat diberlakukan karena hal
ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
4. Asas Tidak Ada Hak
Retensi
Penggunaan
hak retensi bertentangan dengan fungsi dan tujuan pengangkutan. Penggunaan hak
retensi akan menyulitkan pengangkut sendiri, misalnya penyediaan tempat penyimpanan,
biaya penyimpanan, penjagaan dan perawatan barang.
Tujuan perjanjian
pengangkutan
Perjanjian
pengangkutan mempunyai tujuan untuk melindungi hak dari penumpang yang kurang
terpenuhi oleh ulah para pelaku usaha angkutan umum karena dengan adanya
perjanjian pengangkutan maka memberikan jaminan kepastian hukum bagi
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Kitab
Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas
keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan
itu juga di pedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa
suatu perjanjian akan dapat dibatal kan jika bertentangan dengan Undang Undang
Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Perjanjian
pengangkutan dibuat agar maka para pelaku usaha angkutan umum harus bertanggung
jawab atas apa yang terjadi sewaktuwaktu terhadap penumpang karena menyangkut
penumpang melebihi kapasitas.
Undang
Undang Lal u Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 192 ayat (1) ka pelaku usaha
angkutan umum merugikan penumpang maka pelaku usaha angkutan umum bertanggung
jawab atas kerugian yang diderita seperti meninggal dunia atau luka akibat
penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak
dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.
Sifat Perjanjian
Pengangkutan
Pengangkutan
barang dan atau orang itu merupakan suatu pekerjaan tertentu yang harus
dilaksanakan oleh pengangkut dan atas terselenggarakannya pengangkutan oleh
karena itu pengangkut berhak atas pembayaran upah.
Perjanjian
pengangkutan pada umumnya dalam hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai
jasa pengangkutan berkedudukan sama tinggi dan sama rendah, atau bersifat
sederajat. Hal ini tidak seperti dalam perjanjian perburuhan di mana dua belah
pihak tidak sama tinggi yaitu majikan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dari pada buruh (Utari 1994 : 9). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan
terdapat beberapa pendapat, yaitu :
1.
Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirim dan pengangkut tidak
bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan
atau tidak terus menerus, berdasarkan atas ketentuan Pasal 1601 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata.
2.
Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi
pemborongan sebagaimana dimaksud Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum
Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata (Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan).
3.
Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian
melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving).
Unsur pelayanan berkala (Pasal 1601 b Kitab Undang Undang Hukum Perdata) dan
unsur penyimpanan (Pasal 468 ( 1 ) Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
Perjanjian
pengangkutan mempunyai sifat adalah perjanjian timbal balik yang artinya
masing-masing pihak mempunyai kewajiban sendiri-sendiri dimana pihak pengangkut
berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman
berkewajiban untuk membayar uang angkutan.
Sah Perjanjian
Pengangkutan
Perjanjian
pengangkutan dalam pengangkutan barang maupun penumpang antara pengangkut
dengan pemakai jasa pengangkutan dapat disebutkan empat syarat sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, yaitu :
1.
Adanya kesepakatan antara para pihak.
2.
Adanya kecakapan unutk membuat sebuah perjanjian.
3.
Suatu hal tertentu.
4.
Suatu sebab yang halal.
Syarat
yang pertama dan kedua adalah syarat yang menyangkut subyeknya, sehingga
disebut syarat subyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh subyek
perjanjian (sepakat dan cakap) seperti disebutkan dalam Pasal 1330 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
Undang
Undang telah melarang membuat perjanjian terhadap dua syarat terakhir mengenai
obyeknya atau syarat obyektif, yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh subyek
perjanjian (hal tertentu dan sebab yang halal) sesuai dengan Pasal 1332 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Kitab
Undang Undang Hukum Perdata Menurut Pasal 1338 ayat (1) menjelaskan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka
yang membuatnya.
Perjanjian
tidak dapat ditarik kembali, selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh Undang Undang dinyatakan cukup untuk itu dan
suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian
kedua belah pihak adalah sah dan para pihak wajib melaksanakan hak dan
kewajibannya, apabila syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata terpenuhi dan apabila persyaratan sebagaimana
disebutkan angka 1 dan 2 tidak dapat dipenuhi oleh penumpang, maka perjanjian
dapat dibatalkan dan apabila tidak terpenuhinya syarat angka 3 dan 4 maka
perjanjian batal demi hukum.
Pihak
dalam perjanjian yang mana salah satunya melakukan wanprestasi (melalaikan
kewajiban) maka pihak lain yang dalam hal ini adalah pihak yang merasa
dirugikan berhak mengajukan gugatan pembatalan perjanjian atas kelalaian pihak
yang melalaikan kewajibannya.
Menurut
sistem hukum yang berlaku di indonesia dewasa ini, untuk mengadakan perjanjian
pengangkutan barang-barang atau penumpang tidak disyaratkan harus secara
tertulis, sesuai dengan empat syarat yang disebutkan diatas. Jadi, cukup
diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja maka dapat disimpulkan
bahwa perjanjian pengangkutan itu bersifat konsensual (Utari 1994:12-13).
Asas-Asas Hukum Perjanjian
Pengangkutan
Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyebutkan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang
membuatnya, sehingga dengan asas itu hukum perjanjian menganut sistem terbuka,
yang memberi kesempatan bagi semua pihak untuk membuat suatu perjanjian
ketentuan di atas memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian.
Kitab
Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) telah memberikan suatu asas
keadilan yaitu asas pelaksanaan perjanjian secara itikad baik jaminan keadilan
itu juga dipedomani pada Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata bahwa
suatu perjanjian akan dapat dibatalkan jika bertentangan dengan Undang Undang
Kesusilaan yang baik dan atau ketertiban umum.
Asas-asas
hukum perjanjian meliputi :
1. Asas kebebasan
berkontrak
Setiap
orang bebas menentukan isi dan syarat yang digunakan dalam suatu perjanjian
yang diambil untuk mengadakan atau tidak mengadakan suatu perjanjian (Pasal
1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
2. Asas konsesualisme
Dengan
adanya konsesual isme Kontrak dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat
atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat.
3. Asas pacta sunt
servanda
Keseimbangan
hak dan kewajiban antara kedua belah pihak seimbang, maka asas kepastian hukum
ini dapat dicapai semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai
Undang Undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang
Undang Hukum Perdata) dan pihak ketiga wajib menghormati perjanjian yang dibuat
oleh para pihak artinya tidak boleh mencampuri isi perjanjian.
4. Asas kepribadian
Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya (Pasal 1315 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata) bila dibuat maka pihak ketiga tidak rugi dan mendapat
manfaat karenanya. Pada dasarnya seseorang dapat minta ditetapkan dirinya
sendiri kecuali Pasal 1317 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yaitu janji untuk
pihak ke-3 (ketiga).
(diambil dari berbagai sumber)