Sepotong Kecil Ingatan Tentang Kita

Sahabat,
sebagian besar dari kita akan lebih memilih sahabat ketimbang pasangan. Karena
menurut kita sahabatlah yang selalu ada walaupun kita dalam keadaan susah.
Sahabat yang selalu hadir menemani ketika dunia menolak kita. Bahkan ada
sebagian dari kita yang menganggap keluarga adalah sahabat. Karena sahabat
layaknya kursi, ketika kita lelah kita akan membutuhkannya.

Tetapi
tidak bagi Yuri. Dia tidak memiliki teman, dan tidak akan pernah mau menyebut
orang lain adalah sahabatnya. Yuri bukanlah gadis yang sombong, dia bahkan
pernah ikut menjadi sukarelawan bencana alam. Yuri hanya berbeda pendapat dari
kebanyakan orang-orang. Bagi orang-orang mungkin hidup tanpa mempunyai teman
atau sahabat pasti akan sangat membosankan. Tidak ada teman yang selalu
mendengarkan curahan hati, teman untuk tertawa, untuk menikmati indahnya hidup.
Bagi
Yuri dia baik-baik saja walaupun tidak ada teman atau sahabat. Disaat dia sedih
dia bisa mengatasi sendiri kesedihannya, disaat dia senang dia akan tertawa
sepuas yang dia mau. Menurutnya, tidak ada satupun sahabat yang benar-benar
mengerti akan keadaannya. Karena baginya tidak akan ada orang yang bisa
mengerti keadaannya selain dirinya sendiri.
Sahabat
yang layaknya kursi itupun bisa keropos dan patah.
“Ibu,
aku berangkat dulu ya…” seorang gadis mencomot roti yang ada disebuah meja
makan dan berlalu pergi bahkan sebelum wanita yang dipanggilnya Ibu itu
menjawabnya.
“Dia
bahkan tidak ingat untuk membawa obatnya” sang Ibu itu menghela napasnya. Dia
bergegas menyusul anak sematawayangnya itu untuk mengantarkan obat rutin yang
harus diminum oleh anaknya. Dia melakukan ini hampir setiap hari.
“Pagi
Pak…” gadis itu menyapa penjual roti yang ada dipinggir jalan dekat sekolahnya.
“Pagi
neng…” bapak itu terus memerhatikannya sampai gadis itu berbelok memasuki
gerbang sekolah.
“Pasti
tidak lama lagi Ibunya si Neng datang” bapak itu bergumam.
Ternyata
benar gumaman Bapak penjual roti itu, tidak lama setelah gadis itu masuk ke
gerbang sekolahnya terlihat seorang Ibu dengan tergesa-gesa mengayuh sepedanya ikut
memasuki gerbang sekolah.
“Yuri…obat
kamu ketinggalan lagi Nak” Ibu itu sedikit berteriak memanggil anaknya.
Gadis
yang bernama Yuri itupun berbalik sambil nyengir menghampiri Ibunya.
“Makasih
ya Bu, aku selalu lupa” Yuri mengambil obat yang ada ditangan Ibunya.
“Yasudah,
Ibu harus cepat-cepat pulang. Nanti jam 10 Ibu telfon ya” Ibu Yuri mendorong sedikit
sepedanya dan kembali mengayuh.
“Maafin
Yuri Bu, selalu nyusahin Ibu” gumam Yuri.
Layaknya
siswa sekolah biasa, ketika bel masuk berbunyi pertanda jam pelajaran dimulai
maka seluruh siswa akan memasuki kelasnya masing-masing dan begitupun dengan
Yuri.
Yang
berbeda hanya, ketika siswa-siswa lain berjalan bersama teman-temannya
sedangkan Yuri berjalan sendiri dengan riangnya. Tidak terlihat guratan sedih
sedikitpun di wajah gadis itu walaupun tidak ada teman disampingnya.
Di
dalam kelas pun Yuri tidak terlalu banyak berbicara meskipun ada teman satu
mejanya yang tampaknya mempunyai sejuta topic pembicaraan yang ingin dia
bicarakan dengan Yuri. Karena ini adalah masa remaja. Karena masa remaja penuh
dengan cerita.
Yuri
punya cara lain untuk menceritakan ceritanya.
Tepat
pukul 10 bel istirahat berbunyi dan langsung saja siswa berhamburan keluar
kelas termasuk Yuri. Ketika siswa lain kebanyakan menuju kantin sekolah, Yuri
malah berjalan menuju gerbang sekolahnya. Yuri melihat handphone nya yang
berbunyi.
“Halo
Ibu, Yuri udah di depan gerbang sekolah nih”
“Iya
Nak, tapi kali ini Ibu tidak bisa ke sekolah kamu. Ibu tadi minta tolong Ara
yang mengantarkan”
“Nanti
saja Ibu ceritakan, kamu tunggu dia didepan gerbang ya, Ibu tutup dulu Ibu ada
urusan Nak” Ibu Yuri menutup telfonnya.
Tidak
berapa lama setelah pembicaraan singkat antara ibu dan anak itu berakhir
terlihat seorang lelaki datang menghampiri Yuri.
“Yuri,
ini obat siang kamu. Tadi…”
“Iya
makasih” Yuri memotong pembicaran Ara dan langsung merebut obat yang ada
ditangannya. Setelah itu Yuri berlalu pergi.
“Sebenarnya
lo sakit apa Yuri ?” Gumam Ara.
Ara
hanya tersenyum dan pergi.
Sepulang
sekolah Yuri bergegas pulang karena ingin mendengar penjelasan dari Ibunya
tentang Ara.
“Ibu…Yuri
pulang” Yuri memasuki rumahnya dan mencari-cari dimana Ibunya.
“Iya
Nak, Ibu di dapur”
“Ibu
belum bilang tadi, Ara itu siapa Bu ?” Yuri langsung menuntut penjelasan yang
dijanjikan Ibunya tadi.
“Ara
itu tetangga baru yang membeli rumah kosong di sebelah”
“Tapi
tetap aja Ibu jangan nyuruh sembarang orang untuk anterin obat Yuri”
“Ibu
tidak menyuruh sembarang orang, dia anak yang baik”
“Yuri
tidak mau Ibu menyuruh dia datang ke sekolah Yuri lagi Bu, apa Ibu ingin semua orang
tau penyakit Yuri ?” Yuri tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
“Penyakit
kamu tidak memalukan Nak, tidak ada yang harus kamu sembunyikan” Ibu nya
berusaha menenangkan Yuri.
“Jika
penyakitku tidak memalukan, semua orang di sekolah tidak akan memperlakukanku
seperti itu Bu” Air mata Yuri mulai menggenang.
“Yasudah
Ibu minta maaf, lain kali Ibu tidak akan menyuruh orang lain lagi”
Yuri
langsung memasuki kamarnya dan membenamkan mukanya dengan bantal. Berusaha
menyembunyikan tangisannya. Menyembunyikan penyakitnya yang membuatnya malu
bahkan untuk sekedar mempunyai teman.
Setelah
itu Ibu Yuri tidak lagi menyuruh Ara atau siapapun untuk mengantarkan obat
siang kepada Yuri. Dia akan berusaha sehingga dia sendiri yang mengantarkannya.
Dia tidak ingin mengecewakan anaknya yang sudah cukup menerima beban yang
berat.
Suatu
hari ketika Yuri dalam perjalanan pulang dia bertemu dengan Ara. Ara yang
tampak lebih tua darinya itu menghampiri Yuri.
“Hai
Yuri, lama ga ketemu sejak waktu itu”
Yuri
hanya diam. Dan berjalan pergi meninggalkan Ara.
“Lo
ga usah malu sama penyakit lo” Perkataan Ara yang sukses membuat langkah Yuri
terhenti.
“Tau
apa kamu tentang penyakitku” Yuri berbalik dan memperlihatkan muka kesalnya.
“Obat
yang waktu itu pernah gue anter ke sekolah lo, itu obat yang biasa dipake orang
yang punya penyakit Alzheimer”
Yuri
hanya tediam mendengar perkataan Ara.
“Bagaimana
kamu tau ?”
“Sejak
kapan lo punya Alzheimer Ri?”
“Bukan
urusan kamu” Yuri tampak berusaha menahan air matanya yang sudah menggenang.
“Ini
penyakit yang ga biasa buat anak seusia lo. Kenapa bisa Ri ?” Ara membawa Yuri
ke taman yang ada di komplek rumah mereka. Dan membiarkan Yuri duduk.
“Kenapa
kamu tau obat itu untuk penyakit Alzheimer ?”
“Gue
mahasiswa kedokteran Ri. Tapi kenapa bisa lo ?”
“Ini
penyakit dulu yang di derita Ayah”
“Ayah
lo ? Gue dengar dari Ibu lo, Ayah lo udah lama meninggal ?”
“Iya
penyakit ini yang bikin Ayah ninggalin aku dan Ibu” Air mata Yuri akhirnya
tidak terbendung lagi jika sudah menyangkut Ayah nya.
Ara
merasa bersalah telah menanyakan ini kepada Yuri.
“Maafin
gue Ri, tapi lo udah coba ke dokter yang lain ? Ini bukan penyakit yang biasa
di usia lo sekarang”
“Semua
Rumah Sakit di Jakarta udah pernah di datangin sama Ibu, hasilnya tetap sama
dan mereka pun juga heran sama penyakit aku”
Ara
masih tidak percaya dengan pengakuan Yuri. Selama dia menjadi mahasiswa
kedokteran selama tahun ini, dia tidak pernah mendengar Alzheimer di derita
oleh remaja berusia 18 tahun.
Alzheimer
adalah penyakit yang gejalanya seperti pikun atau sering lupa. Tetapi Alzheimer
membuat penderitanya lama kelamaan melupakan semua kenangan hidupnya. Dan sebagian
besar merenggut nyawa penderitanya.
Biasanya
Alzheimer menyerang manusia berusia diatas 45 tahun. Yang memang memori otak
pada umur itu sudah berangsur-angsur memudar. Tetapi pada teorinya Alzheimer
disebabkan karena penumpukan lemak yang berlebihan pada otak, sehingga
mengurangi kerja otak dan lama kelamaan menghentikannya.
Yuri
mengetahui penyakitnya ini 1 tahun yang lalu. Semenjak saat itu Yuri menutup
dirinya. Dia tidak ingin orang-orang sekitarnya tau tentang penyakitnya. Dia
juga tidak ingin jika dia punya banyak teman, kelak tidak lama lagi dia akan
lupa satu persatu temannya, kenangan bersama temannya, sampai pada saatnya dia
tidak ingat apa-apa lagi. Baginya lebih baik jika hanya sedikit orang yang akan
dia lupakan nanti. Dia tidak ingin melupakan banyak orang.
“Sekarang
apa aja gejalanya ?”
“Kamu
tau kenapa alasannya Ibu menyuruh kamu mengantarkan obat waktu itu. Kenapa Ibu
tidak menyuruh aku bawa obat itu pagi ketika berangkat sekolah ?. Itu karna
untuk minum obat aja aku tidak ingat” pandangan Yuri nanar.
“Udah
segitu parahnya ?”
“Kata
dokter jika sudah lebih tiga tahun, daya ingat aku hanya bisa untuk mengingat
kejadian untuk satu jam sebelumnya”
Ara
tampak kaget dengan pernyataan Yuri.
Yuri
berdiri dari tempat duduknya.
“Semua
pertanyaan kamu udah aku jawab kan ?”
Yuri
berjalan meninggalkan Ara.
“Tapi
bukan berarti lo harus nutup diri kayak gini. Lo manusia biasa Ri, lo juga
butuh teman”
“Teman
? Teman macam apa aku jika pada akhirnya aku lupain dia ?”
“Bukan
kemauan lo yang bikin lo lupain teman lo, tapi penyakit lo. Ga ada manusia di
dunia ini yang pengen dikasih penyakit Ri”
“Ga
ada yang mau temanan sama orang penyakitan kayak aku”
“Gue,
gue mau jadi teman lo walaupun lo bakalan lupain gue nanti”
“Jangan
main-main sama orang yang mau meninggal Ra” Yuri meninggalkan Ara yang terkejut
dengan perkataan Yuri.
“Mulut
lo bahkan dengan gampangnya membicarakan kematian” gumam Ara.
Semenjak
saat itu, Ara terus berusaha mendekati Yuri. Baginya tidak ada yang paling
dibuthkan gadis itu selain teman tempat dia bersandar dan menceritakan betapa
berat bebean yang dia derita. Tetapi Yuri tetap tidak mau menjadikan Ara
temannya.
Dia
tidak ingin Ara merasa terlupakan olehnya kelak. Dengan memberi tahu Ara
tentang penyakitnya itu sudah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Ara
memang seorang laki-laki yang baik. Tidak salah jika Ibu Yuri berkata demikian.
Rian Bagaskara, lebih memilih dipanggil Ara. Mahasiswa kedokteran semester 5.
Dia pertama kali melihat Yuri pada saat Yuri sedang mengajak bicara seekor kucing
diteras rumahnya. Awalnya Ara berpikir bahwa Yuri mungkin seperti gads lain
yang iseng mengajak seekor kucing berbicara dan ketika dia sadar kucing itu
tidak bisa berbicara maka dia akan meninggalkan kucing itu.
Tapi
yang dilakukan Yuri pada saat itu membuat Ara berpikiran lain. Karena dia
melihat seorang gadis menceritakan keluh kesahnya kepada seekor kucing sembari
menangis sesenggukan. Seakan dia berbicara dengan manusia.
Ara
ingin berteman dengan Yuri bukan karena kasihan. Dia kagum dengan sifat tegar
Yuri yang sangat pandai menyembunyikan kekalutannya dengan menebarkan senyum
kepada siapa saja yang ada di dekatnya. Kecuali kepada Ara yang sudah
mengetahui penyakitnya sekarang. Selama 1 bulan ini Ara terus berusaha agar
Yuri mau menerimanya menjadi teman.
“Assalamualaikum…”
Ara berdiri di depan pintu rumah Yuri.
“Walaikumsalam…”
Ibu Yuri membuka pintu.
“Wah
nak Ara, silahkan masuk”
“Maaf
Bu, saya Cuma ingin mencari Yuri. Ada yang ingin saya bicarakan sebentar”
“Kebetulan
Yuri baru saja pergi katanya ingin melihat pasar malam yang ada di ujung
komplek”
“Baiklah
Bu, saya menyusul kesana saja”
Ara
buru-buru mendatangi pasar malam itu. Di jelajahinya semua wahana,
tempat-tempat yang ada disana untuk mencari Yuri, tetapi hasilnya nihil. Dia
beralih ke danau yang tidak jauh dari sana.
“Yuri…lo
kenapa disini ?” Ara melihat Yuri sedang kebingungan menatap ke arah danau.
“Nggak
apa-apa, aku cuma mau cari angin segar”
“Bukan
angin segar kalau lo disini, yang ada masuk angin Ri”
Yuri
sekilas tampak tersenyum walau samar. Tetapi Ara melihat senyuman Yuri yang
pertama di depannya.
“Nggak,
siapa yang senyum. Yaudah aku mau pulang dulu”
Yuri
berjalan mendahului Ara.
Dalam
perjalanan pulang, Yuri melewati jalan yang tidak biasa dia gunakan untuk
pulang. Dia mengambil jalan yang lebih jauh.
Ara
mengikutinya dari belakang.
Ketika
Yuri menyadari bahwa dia melewati jalan yang sama untuk kedua kalinya dia mulai
tampak kebingungan. Dia tampak sedikit memijit pelipisnya.
“Lo
kenapa ? Kepala lo kenapa Ri ?”
Tiba-tiba
Ara meraup tubuh Yuri kedalam pelukannya.
“Gue
tau lo lupa jalan pulang”
Di
dalam pelukan Ara, Yuri hanya bisa menangis dalam diam.
“Ini
sebabnya gue pengen lo punya teman. Lo bisa cerita apa aja kalau lo punya teman
Ri. Lo bisa cerita kalau kondisi lo memburuk”
“Aku
ga mau ngelupain banyak orang Ra”S
“Gue
kan udah bilang, gue mau jadi teman lu meskipun ntar lo lupa sama gue”
“Tapi
aku yang ga sanggup Ra” tangis Yuri pecah.
“Gue
ga mau tau, mulai sekarang gue teman lo. Kalau lo lupa sesuatu, lo harus
hubungi gue. Misalnya kayak tadi, lo lupa jalan pulang lo harus hubungi gue.
Gue pinjam handphone lo” Ara melepaskan pelukannya.
Yuri
memberikan handphone-nya.
“Speed
dial nomer dua itu nomer gue, nomer satu nomer Ibu lo”
“Tapi
Ra…” belum sempat Yuri menyelesaikan ucapannya, Ara menggenggam tangan Yuri dan
membawanya pulang.
Seiring
berjalannya waktu Yuri dan Ara lebih terlihat sebagai dua orang sahabat. Ara
pun mengetahui semua tentang Yuri. Dia mencari tau melalui Ibu Yuri.
“Hallo
Ri, lo ada jadwal les hari ini pulang sekolah ntar lo gue jemput” Ara langsung
menutup telfonnya karena dia tidak ingin mendengar kata penolakan dari Yuri.
Penyakit
Yuri pun semakin memburuk, dia harus mencatat semua yang dikatakan oleh Guru
nya disekolah agar dia tidak lupa. Berhubung ujian akhir hanya tinggal beberapa
minggu lagi.
Jadwal
les nya pun di ambil alih oleh Ara, karena sewaktu-waktu Yuri akan lupa dia les
dimana dan jam berapa walaupun sudah melihat jadwalnya berkali-kali.
Menjelang
Ujian Akhir pun, Ara terus membantu Yuri cara-cara yang lebih mudah agar Yuri
bisa lebih lama mengingat pelajarannya.
Hasilnya
pun membuat Ibu Yuri tidak percaya. Yuri mendapat nilai yang sangat bagus.
Bahkan dengan melihat nilainya, tidak akan ada yang percaya bahwa Yuri
menderita Alzheimer.
Sudah
dua tahun Yuri hidup dengan penyakitnya. Semakin lama, keadaan Yuri semakin
memburuk.
“Yuri,
nak Ara tadi nitip pesan hari ini dia tidak jadi datang”
“Ara
siapa Bu ?” Ibu Yuri sontak kaget mendengar jawaban dari putrinya tersebut.
Dia
menghampiri putrinya yang malang itu dan memeluknya. Ibu Yuri menangis memeluk
anaknya. Dia sadar kondisi anaknya saat ini semakin parah. Bahkan ia lupa
dengan Ara yang menemaninya hampir setiap hari. Memang sudah dua hari ini Ara
tidak menemani Yuri karena tugasnya.
“Aku
lupa lagi ya Bu ?” Yuri masih tampak kebingungan.
“Kamu
lebih baik istirahat dulu nak”
Yuri
masuk ke kamarnya dan tidur sejenak.
Ibu
Yuri memberi tau Ara tentang kejadian tadi. Ara berjanji akang menyempatkan
datang ke rumah Yuri.
Setelah
beristirahat, Yuri menghampiri Ibunya.
“Bu,
Ara tidak jadi kesini ya ?” tiba-tiba Yuri kembali mengingat Ara.
“Nak
Ara akan mampir nanti sore”
Yuri
semakin sering lupa hal-hal yang penting dalam hidupnya. Yuri pernah lupa
ayahnya sudah meninggal, lupa tanggal kelahirannya, lupa nama ayah dan ibunya, lupa
alamat rumahnya.
Tetapi
dia akan mengingatnya kembali setelah ia beristirahat sebentar dikamarnya. Seakan
otaknya te-refresh. Dan kembali mengingat hal-hal yang dia lupakan sebelumnya.
“Ibu,
apakah Ibu tau rumah Ara dimana ?” pertanyaan itu keluar dari mulut Yuri.
Rumah
Ara dan Yuri bersebelahan, hanya berjarak 5 meter. Mereka biasanya hanya
meneriaki nama satu sama lain maka salah satu dari mereka akan menghampiri.
Ibu
Yuri menatap nanar anaknya.
“Ibu,
Yuri ke kamar sebentar”
Kemudian
Yuri keluar dari kamarnya.
“Ibu…Yuri
pamit sebentar ke rumah Ara”
Ibunya
merasa heran, begitu keluar dari kamarnya, Yuri langsung bisa mengingat dimana
rumah Ara. Ibu Yuri pun penasaran dan memasuki kamar anaknya.
Kamar
Yuri dipenuhi tempelan-tempelan tentang kebiasaan dan kenangan hidupnya selama
ini. Tempelan-tempelan itu nyaris menutupi dinding kamarnya. Ibu Yuri pun tidak
sanggup membendung tangisnya, tangisannya pun pecah melihat usaha yang begitu
keras yang dilakukannya anaknya.
Yuri
sudah sampai di depan pintu rumah Ara, dan memencet bel.
Begitu
mendengar bel berbunyi, Ara langsung bergegas membukakan pintu. Tapi setelah
dia membuka pintu, dia tidak melihat siapapun yang berdiri, tetapi dia melihat
Yuri sudah terjatuh pingsan.
“Astaga
Yuri, lo kenapa ?” Ara langsung menggendong Yuri ke dalam mobilnya dan membawa
Yuri ke Rumah Sakit.
Setelah
beberapa lama, Ibu Yuri datang dan menghampiri Ara.
“Dimana
Yuri Nak ?” Raut muka Ibunya terlihat sangat panic.
“Dia
masih di dalam Bu, apa Yuri sering pingsan begini ?”
“Sangat
jarang, karena dia selalu Ibu ingatkan untuk meminum obatnya”
Setelah
beberapa saat menunggu, akhirnya dokter yang menangani Yuri pun keluar.
“Bagaimana
Dok ?” Tanya Ibu Yuri.
“Keadaannya
sudah sangat parah, bahkan obat yang saya berikan sudah tidak mempan lagi
untuknya” Dokter itu tampak menyesal.
“Maksud
Dokter, Yuri sekarat ?” Ara mencoba meyakinkan Dokter itu lagi.
“Ini
sudah 3 tahun semenjak dia di vonis mengidap Alzheimer, ini waktu yang sangat
sulit bagi pengidapnya. Seperti Ayahnya dulu, Yuri tidak ada harapan lagi, kita
hanya bisa berserah diri pada yang diatas”
Tangis
Ibu Yuri pun pecah di lorong Rumah Sakit yang sepi itu. Sedangkan Ara tertunduk
frustasi mengacak rambutnya.
Ayah
Yuri meninggal 3 tahun setelah di vonis mengidap Alzheimer. Keadaan Yuri
sekarang bisa dikatakan sekarat atau koma.
Ibu
Yuri memasuki kamar rawat anaknya. Melihat anaknya tertidur lemas seperti itu,
rasanya dia tidak sanggup jika mengingat anak sematawayangnya itu sedang
sekarat. Bertubi-tubi musibah menimpa Ibu ini, setelah suaminya pergi dan
sekarang anaknya sedang meregang nyawa dengan penyakit yang sama.
Dia
tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya selanjutnya, sendiri tanpa
keluarganya. Tanpa suami dan anak seperti keluarga yang diidam-idamkan oleh
orang-orang.
Dia
mengelus pipi anaknya yang pucat. Memandangi anaknya dan memegang tangannya.
Meratapi kesedihan dan penderitaan yang selama ini ditanggung oleh anaknya.
Ara
melihatnya dengan air mata yang sedari tadi sudah mengalir. Dia bahkan belum
sempat menyatakan perasaannya kepada Yuri. Mengatakan yang sebenarnya. Dari
awal dia sudah menyukai Yuri. Dan itulah sebabnya dia memaksa untuk menjadi
sahabat Yuri. Tapi sebelum dia sempat mengatakan itu semua Yuri sudah sekarat
seperti sekarang.
Setelah
Ibu Yuri keluar, Ara masuk kamar rawat Yuri. Ara menggenggam tangan perempuan
yang dia sayang itu.
“Ri,
gue sayang sama lo. Gue bohong, gue ga sanggup dilupain sama lo. Ga ada yang
mau dilupain sama orang yang dia sayang Ri. Tapi apa secepat ini Ri ?. Please
Ri beri gue waktu buat bikin lo lebih bahagia lagi”
Setelah
semalaman Ara menemani Yuri, paginya ketika Yuri sadar dan melihat Ara tertidur
di sampingnya. Dia memandangi muka Ara yang terlihat sangat letih.
Yuri
sedikit mengguncang tubuh Ara membangunkannya. Ara pun bangun dari tidurnya.
“Yuri
lo udah sadar ? Ada yang sakit ? Kepala lo pusing ?”
“Engga,
kepala aku baik-baik aja. Tapi kamu siapa ya ?”
Ara
hanya terdiam mendengar pertanyaan Yuri.
“Gue
Ara Ri. Sahabat lo ?”
“Sahabat
? sejak kapan aku punya sahabat ?. Oh ya Ayah dimana ?”
Mata
Ara semakin membulat mendengar Yuri menanyakan ayahnya. Dia bahkan lupa bahwa
ayahnya sudah tiada.
Ara
hanya bisa menangis dan memandangi Yuri. Gadis yang dicintainya itu bahkan
sudah melupakannya.
“Ibu
aku dimana ?” Raut muka Yuri masih tampak kebingungan.
“Ibu
lo ada di rumah, sebentar lagi datang”
Selama
Yuri menunggui Ibunya, dia tidak mengatakan apa-apa dengan Ara. Biasanya Yuri
ketika bertemu dengan Ara, dia akan menceritakan apapun yang bisa dia
ceritakan. Tapi sekarang dalam ingatannya dia tidak pernah mempunyai sahabat.
Maupun tetangga yang bernama Ara.
Setelah
seminggu di Rumah Sakit, Yuri masih belum diperbolehkan pulang. Selama seminggu
pula Ara terus menemani Yuri meskipun gadis itu tidak mengenalinya sedikitpun.
“Ri,
lo makan dulu ya. Ntar abis makan gue liatin lagi foto-foto kita”
Yuri
selalu ingin melihat foto-fotonya dengan Ara, meskipun setiap hari Ara
memperlihatkan foto itu, Yuri akan berkata bahwa dia tidak mengingat apa-apa.
“Ara
tau dimana Ayah ? Aku ingin ketemu ayah”
“Nanti
ya Ri, ayah kamu sedang ada urusan” Tidak jarang Ara berbohong setiap kali Yuri
menanyakan ayahnya karena Ara tidak ingin melihat Yuri sedih jika dia tau
ayahnya sudah lama tiada.
Dibandingkan
siapapun, Ara adalah orang yang paling menyedihkan. Karena mungkin Yuri masih
bisa sedikit ingat dengan Ibunya. Karena ada banyak momen yang tersimpan di
kepalanya bersama Ibunya. Tetapi dengan Ara yang hanya 3 tahun belakangan ini
bersamanya, dia tidak ingat apapun momen-momennya dengan Ara.
Ara
menceritakan semuanya, kisah mereka. Setiap hari. Ketika Yuri lupa dan bertanya
bagaimana kisah mereka. Ara akan dengan senang hati menceritakannya beribu
kalipun.
“Jadi
kamu harus ingat, nama aku Ara. Aku adalah sahabat kamu” Ara selalu bahagia
jika dia mengatakan kalimat ini.
Suatu
sore ketika Ara sedang mengajak Yuri ke taman Rumah Sakit. Tiba-tiba Yuri
memeluknya.
“Ara
makasih ya, selama ini mungkin aku ngerepotin kamu. Karna penyakit aku, aku
bahkan ga ingat sama sahabat aku sendiri. Nanti kalau aku udah ga ada, kamu
jangan lupa sering-sering ke makam aku ya. Tadi kata mama aku suka mawar, jadi
kalau kamu datang ke makam aku, kamu harus bawain mawar buat aku”
Meskipun
mungkin Yuri lupa tentang ingatannya. Tetapi Yuri tidak berubah dimata Ara.
Yuri masih tetap sama, gadis yang bahkan tidak takut membicarakan kematian.
Ara
hanya diam. Rasanya dia tidak pantas menangis di depan gadis yang sudah
se-sekarat ini. Yang menghadapi beban seberat ini.
Keesokan
harinya, Ara meminta izin dokter untuk membawa Yuri keluar rumah sakit
sebentar.
Dalam
perjalanan, Yuri masih bertanya siapa Ara.
Ara
membawa Yuri ke taman komplek rumah mereka.
“Kamu
sebenarnya siapa ? kenapa kamu bawa aku kesini ?”
“Gue
Ara sahabat lo, dan ini tempat pertama kali lo mau cerita sama gue”
“Tapi
aku ga punya sahabat”
“Ri,
lo mau ingat atau ngga sama gue, gue tetap harus ngomongin sesuatu sama lo”
“Gue
sayang sama lo, sejak lo mau cerita sama gue, disini”
“Aku
ga ngerti apa yang kamu omongin”
“Gue
Cuma mau ngomong ini, gue ga mau nyesal seumur hidup Ri”
Tiba-tiba
Ara memeluk tubuh Yuri. Meskipun Yuri tampak menolak tapi Ara tidak mau
melepaskan pelukannya.
Ketika
kembali ke Rumah Sakit, tiba-tiba Yuri pingsan.
Dokter
mengatakan mungkin ini saatnya bagi Yuri untuk pergi. Meskipun Yuri masih
bernafas tapi otaknya sudah tidak bisa bekerja dengan baik lagi. Disaat otaknya
benar-benar berhenti bekerja, saat itulah semua organ tubuh juga berhenti.
Disaat
mendengaritu, Ibu Yuri dan Ara merasa seakan kehilangan arah. Orang yang mereka
sayangi akan meninggalkan mereka.
“Dia
mungkin bisa sadarkan diri, tapi mungkin untuk yang terakhir kalinya”
Pernyataan
dokter itu membuat Ibu Yuri dan Ara semakin putus asa.
Mereka
memasuki ruangan Yuri. Ruangan yang dingin dan Yuri dikelilingi oleh alat-alat
medis yang menopang hidupnya sekarang.
“Ibu,
Yuri ga bisa rasain apa-apa”
Ibu
Yuri hanya bisa menangis mendengar perkataan anaknya.
“Kamu
harus bertahan Nak” Kali ini Ibu Yuri tidaklah menguatkan anaknya, tapi dia
menguatkan dirinya sendiri.
“Ara…”
Ara tampak tidak percaya Yuri memanggil namanya. Biasanya setiap kali Ara
muncul dihadapannya, Yuri tidak mengingat Ara.
“Lo
inget sama gue Ri ?”
“Kamu
Ara sahabat aku” Yuri menitikkan air mata mengatakannya.
Ara
mengusap kening Yuri.
“Kenapa
Ri ? Ada yang sakit ?”
“Aku
ga ngerasain apa-apa lagi Ra, aku udah sembuh” Yuri tersenyum.
Ibu
Yuri hanya bisa menangis sambil menggenggam tangan anaknya.
“Ibu
sama Ara janji ya ga akan lupain Yuri, walaupun Yuri mungkin sebentar lagi Yuri
akan lupain kalian. Tapi Yuri mohon jangan lupain Yuri. Buat Ibu, Ibu harus
kuat seperti Ibu Yuri yang dulu, maafin Yuri karna Yuri ga bisa nemenin Ibu
sampai Ibu tua, Yuri ga bisa balas jasa sama Ibu, makasih Ibu udah ngerawat
Yuri, udah nganterin obat yang lupa Yuri bawa setiap hari” Yuri masih sempat
tersenyum.
“Kamu
ga perlu minta maaf Nak, kamu anak Ibu. Ibu ga akan lupain kamu, sampai kapan pun
kamu tetap anak Ibu” Ibu Yuri mencium tangan anaknya yang pucat.
“Yuri
tau, karna Ibu Yuri adalah Ibu terbaik di dunia” Yuri memberikan senyuman
hangatnya.
“Dan
untuk kamu Ara, makasih udah nemenin aku selama ini. Udah mau jadi sahabat aku
walaupun Cuma sebentar. Kamu harus ngelanjutin hidup kamu setelah ini, jangan
mau jadi sahabat gadis penyakitan lagi. Dan Aku tau perasaan kamu bagaimana
selama ini, aku pun sama. Tapi kamu tetap harus ngelanjutin hidup kamu”
Ara
tidak bisa berkata-kata.
“Jangan
Ri, gue ga mau denger ini. Ini bukan akhir”
Yuri
tersenyum dan menggeleng.
“Ngga
Ra, ini waktu yang paling tepat. Disaat orang-orang yang aku sayang ada disini,
aku bisa pergi dengan tenang.”
“Ri
jangan sekarang Ri, gue mohon lo harus bertahan”
Yuri
tetap hanya tersenyum
“Yuri
sayang Ibu” Yuri menggenggam tangan Ibunya.
“Aku
sayang kamu Ra, kamu yang pertama dan terakhir buat aku”
Setelah
itu, ruangan ICU mendadak sunyi dan semua aktivitas terasa terhenti.
Pelan-pelan Yuri memejamkan matanya sambil tetap memberikan senyuman
terakhirnya. Memori-memori dalam ingatannya pun satu-persatu mulai hilang.
Sampai hanya ada ruang kosong bewarna putih yang hanya ada Yuri di dalamnya.
“Sekarang
benar-benar kosong, ruangan putih yang sangat luas ini adalah ingatanku, kosong
dan tidak ada apa-apa”
Terdengar
suara tangisan pecah di dalam ruangan ICU itu, suara ratapan seorang Ibu dan
laki-laki menyusuri seisi ruangan. Tangisan itu mengantarkan Yuri pada hembusan
nafas terakhirnya. Hembusan nafas tanpa beban.
“Ara,
bantu Ibu sebentar Nak”
Seorang
wanita paruh baya dan pemuda itu tampak sudah sangat akrab. Mereka adalah Ibu
Yuri dan Ara. Sesuai janji mereka kepada Yuri, mereka melanjutkan hidup dengan
suka cita, dan tetap tegar.
“Kemaren
Ibu siap bersih-bersih kamar Yuri, Ibu menemukan ini”
Tampak
sebuah album foto dan buku catatan kecil yang diberikan Ibu Yuri kepada Ara.
Ara
duduk di bangku taman komplek. Tempat itu masih menjadi tempat favorit Ara.
Untuk Ara, satu-satunya sahabatku. Ketika membaca
ini, mungkin kamu mendapatkan surat ini dari Ibu yang menemukan ini setelah
membereskan kamarku yang sudah kosong.
Ra, makasih udah mengisi hidup aku yang singkat
ini. Aku tau, kamu ingin kita lebih dari sahabat. Aku pun begitu, tapi aku
mengubur perasaan aku selama ini. Aku tidak ingin menyakiti orang yang aku
sayang. Kamu udah cukup terbebani karena aku.
Waktu kamu bilang, kamu mau jadi sahabat aku,
jujur aku bahagia Ra. Akhirnya ada yang bersedia dengan suka hati jadi sahabat
aku. Aku mungkin tidak tau bagaimana perasaan kamu punya sahabat seperti aku.
Tapi Ra, aku merasa sangat bahagia karna diberi kesempatan punya sahabat yang
luar biasa.
Ra, setelah aku pergi aku harap kamu bisa
menjalani hidup kamu lebih baik lagi.
Ra, jangan lupain aku. Aku harap kamu sering
datang ke makam aku bawain bunga mawar. Selalu ingat kamu dulu pernah jadi
sahabat seorang gadis penyakitan bernama Yuri Andriana.
Makasih untuk 3 tahunnya, Rian Bagaskara
Dan
album foto itu berisikan foto kenangan mereka berdua. Ara melihat foto-foto itu
sambil tersenyum.
Ara
mendatangi makam Yuri. Meletakkan bunga mawar kesukaan Yuri.
“Hai
Ri, gue datang lagi. Baik-baik disana ya Ri. Gue disini ga akan pernah lupain
lo. Jangan pernah takut gue akan ngelupain lo. Gue janji akan selalu nyempetin
datang kesini. Gue selalu sayang sama lo Ri.”
It’s always been you, Yuri Andriana.

About admin

Check Also

Mengenal 3 Jenis Insurtech di Indonesia ~ Akademi Asuransi

Insurtech adalah pedekatan baru industri asuransi dalam menciptakan produk asuransi dan dalam memasarkan produk asuransi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *